Pengalaman Konsultasi Online dengan Psikolog (Part 1)

Jika sebelumnya saya lebih banyak bercerita entang perjalanan saya selepas kepergian mamah, maka di tulisan kali ini saya ingin membagikan pengalaman saya berkonsultasi dengan psikolog di masa silam. Yang pada tulisan selanjutnya akan saya ceritakan tentang peran psikolog yang membantu saya untuk pulih selepas kepergian mamah. Cerita ini masih flashback, menceritakan pengalaman lama yang cukup membekas untuk saya. 
Mental health belakangan menjadi isu yang marak dibahas dimana-mana. Sisi positifnya orang menjadi aware dengan berbagai permasalahan terkait mental health, sisi negatifnya orang sering salah kaprah mendiagnosis diri sendiri dan mental health kini kerap dijadikan alasan atau pembenaran bagi kebiasaan buruk seseorang. Seperti yang baru-baru ini heboh tentang curhatan mahasiswa yang mengaku mental healthnya terganggu dengan banyaknya tugas perkuliahan yang dia terima, padahal sejatinya kuliah dan dan seluruh aspeknya termasuk tugas yang berjibun merupakan bagian dari proses dan setiap mahasiswa mengalaminya. Lelah, burn out dan merasa terbebani jelas banyak yang mengalaminya, tapi tidak otomatis mental healthnya terganggu kan? Tapi tulisan ini bukan akan membahas hal tersebut, tulisan kali ini membahas tentang pengalaman saya berkonsultasi online dengan psikolog.

Sependek pengalaman saya, saya terhitung berkonsultasi dengan tiga psikolog. Dua psikolog pertama, saya berkonsultasi melalui aplikasi chat dengan dokter. Untuk yang ketiga dan masih berkonsultasi sampai sekarang saya mendapatkan kontaknya melalui salah satu komunitas yang bergerak di bidang kesehatan mental. 

Konsultasi pertama saya dengan psikolog, terjadi di tahun 2018, saat itu saya merasa penat dengan banyaknya masalah yang ada di hidup saya, motivasi mulai menurun dan merasa lelah dengan keseharian saya. Dari teman yang memiliki latar belakang psikologi, saya merasa sudah saatnya saya menemui psikolog. Mengingat di tempat saya tinggal tidak ada akses ke psikolog, saya memutuskan mencoba berkonsultasi online menggunakan salah satu aplikasi caht dengan dokter, kebetulan sebagai pengguna baru saya menikmati dua kali konsultasi gratis melalui aplikasi tersebut. Pada sesi yang berlangsung selama 2 x 30 menit tersebut saya ditanya tentang hal yang mengganggu saya setelah menggambarkan secara ringkas situasi saya, mulailah psikolog tersebut menanggapi, saat pertama membaca chatnya saya langsung merasa tidak nyaman, alih-alih menanyakan lebih jelas kondisi saya jika penjelasan saya kurang jelas, psikolog tersebut malah langsung menghakimi dan menyalahkan saya di beberapa aspek, sehingga saya yang sedang tidak baik-baik saja merasa semakin terpojokkan dengan kata-katanya. Saya sempat menyampaikan bahwa saya tidak nyaman dengan kata-katanya lalu beliau malah menyuruh saya introspeksi diri, lhaa? Helo, yang lagi cerita ini kondisinya lagi nggak baik dan sensitive, kenapa malah dihakimi dan disuruh mikir? Karena waktu juga habis, saya tidak berniat melanjutkan sesi konsultasi tersebut, malah menandai psikolog tersebut karena caranya menghadapi saya yang saya rasa tidak menyenangkan. 

Pengalaman tersebut tidak membuat saya kapok, karena beberapa teman mengatakan bahwa bertemu dengan psikolog yang tepat itu perlu perjuangan, tidak bisa langsung menemukan yang sesuai dengan value yang kita pegang dan bisa menerima kondisi dan pemikiran kita. Masih menggunakan aplikasi serupa di tahun berkutnya, saya mencoba berkonsultasi satu sesi. Saat ini saya merasakan kelelahan yang amat sangat dan pikiran negative yang terus mengganggu. Psikolog yang kedua ini tidak judgemental seperti yang pertama, saya diberi beberapa tips dan arahan agar pikiran saya lebih kalem dan tidak terlalu sering overthinking. Saya cukup merasa terbantu dengan psikolog kedua ini, walaupun sarannya banyak yang sudah saya lakukan tapi setidaknya saya tidak merasa dihakimi dan psikolog ini fokus pada solusi untuk saya. 


Salah satu kelemahan berkonsultasi secara online melalui chat adalah kita seakan diburu waktu dan ada ketrerbatasan komunikasi sehingga bukan tidak mungkin apa yang hendak kita sampaikan tidak sampai pada oaring yang kita hubungi. Dan karena ada limit waktu per sesi, ada perasaaan diburu-buru dalam menyampaikan poin yang ingin kita sampaikan. Selanjutnya memang harus ada kesamaan value antara psikolog dengan kita selaku pasien. Pengalaman tidak mengenakan dengan psikolog yang judgemental sangat membekas hingga kini, sehingga walaupun tidak kapok tapi saya menjadi lebih hati-hati dan mencoba memetakan dulu seperti apa psikolog yang saya hadapi. Sanagt tidak enak rasanya ketika kita membutuhkan bantuan tetapi orang yang kita minta bantuan malah menyalahkan keadaan kita. Ini tidak menggneralisir psikolog yang ada, karena pada pengalaman selanjutnya saya menemukan psikolog yang tepat dan nyaman. Pada tulisan selanjutnya saya akan menceritakan pengalaman saya menemukan psikolog yang cocok bahkan masih terus berkonsultasi hingga saat ini sejak saya kepergian mamah tercibta saya yang sangat membantu saya. Nantikan di tulisan selanjutnya ya.

Komentar

  1. Bersyukur ya, mbaa, diberi kemudahan untk bisa konsultasi secara online,
    Saya dulu jangankan online, mengeluarkan pendapat dn unek-unek saja sudah jantungan, bisa ada perang dunia ke-3 ntik,
    Tapi Alhamdulillah semua udah lewat 🤗

    BalasHapus
  2. Psikolog nya mungkin belum lulus nih mba ehhh,,memang lebih nyaman kalau ketemuan langsung ya perihal konsultasi jadi lebih longgar waktunya.

    BalasHapus
  3. Iya ya, emang KLO konsultasi enaknya via langsung
    Kalau aku juga pernah konsultasi langsung mbak
    Tapi untuk anakku sih

    BalasHapus
  4. Bukan benar2 psikolog mungkin yang pertama itu ya mbak. Kalau cuma dihakimi, ngga mesti ke psikolog. Ternyata mendapatkan psikolog bagus pun harus agak usaha ya

    BalasHapus
  5. mau itu dokter ataupun psikolog, dan obat sekalipun memang cocok-cocokan. kok, saya sebel ya, berani praktek psikolog, tapi tanggapannya demikian. Mmm, baru lampu merah, jadilah lebih sensitif ini, jadi ikutan gondu. Kehilangan orangtua itu tidak mudah, saat mama saya meninggal saya harus berusaha tegar agar papa tidak terlalu terpuruk, tapi nyatanya malah enggak bagus buat emosi saya selanjutnya. Sebab, saya juga perlu mengeluarkan rasa kehilangan. semoga segera membaik ya, mbak dan semoga almarhumah, mendapatkan surga terbaik

    BalasHapus
  6. Ternyata butuh perjuangan juga ya untuk mendapatkan psikolog yang sesuai dengan yang kita mau dan kita butuhkan. Semoga diberi kemudahan dan kelancaran ya untuk bisa berkonsultasi secara onlinenya

    BalasHapus
  7. mungkin lebih leluasany bisa bertemu langsung dan lebih enak ngomongny bsa lebih lepas....semangats terus

    BalasHapus
  8. Alhamdulillah bisa ngikuti sesi online bareng psikolog kak Vy, semangat terus yaaa!

    BalasHapus
  9. Ini jadi pembelajaran, Mbak. Kita bicara dengan orang lain saja kadang cocok kadang tidak. DUlu saya pikir psikolog itu pasti oke, ternyata tidak semua bisa klik sama kita ya. Pantas teman-teman itu juga sering mengeluh susah mencari psikolog yang memadai.

    BalasHapus
  10. Memang ada mbak Psikolog yang bersikap nggak seperti Psikolog. Jangankan Psikolog, Dokter aja banyak yang demikian hehehe. Alhamdulillah kak Vy bisa nemuin Psikolog yang pas pada akhirnya yaa. Semoga setelah bertemu Psikolog yang cocok ini kak Vy bisa mencapai apa yang diinginkan. Aamiinn.

    BalasHapus
  11. Balik lagi yang penting dari sebuah healing adalah kenyamanan salah satu nya saat kita ingin berbagi cerita dengan seorang psikolog.

    BalasHapus
  12. Alhamdulillah akhirnya bisa sedikit berprogress ya kak Vy. Menemui ahlinya adalah keputusan yang tepat demi kesehatan mental

    BalasHapus
  13. Terima kasih sharing-nya, Mbak, baru tahu ternyata psikolog juga cocokan. Butuh perjuangan dan kesabaran. Semoga semua lebih baik lagi, ya.

    BalasHapus
  14. Psikolog jg mirip kyk dokter ya mba, cocok-cocokan. Ada dokter yg enak diajak ngobrol, ramah, dan berisi resep yg tepat dan mujarab, ada jg dokter yg asal meriksanya dan obatnya ga tepat, sampe sy pernah di opname gara2 salah resep obat.

    BalasHapus
  15. Ternyata psikolog pun ada yang menghakimi ya. Kirain mereka tuh udah pada dibekali teknik komunikasi konseling gitu. Ini konsultasi online pakai app apa, Mbak? Berbayar? Semoga dimudahkan jalannya ya.

    BalasHapus
  16. Ternyata menemukan psikolog yang yang cocok perlu perjuangan juga ya, tapi kalo udah ketemu pasti bakalan seneng banget.

    BalasHapus
  17. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  18. wah semoga pengalaman yang pertama jadi pelajaran dan mbak bisa menemukanpsikolog yang pas ya mbak, aku seneng denegr mbak menemukan psikolog yang tepat semoga segra pulih dan ceria kembali

    BalasHapus
  19. terimakasih sudah berbagi pengalaman mba. Memang perlu keberanian ya untuk menceritakan keadaan diri pada org yg tak dikenal.. semoga sehat terus ya mba

    BalasHapus
  20. Awarness mengenai pentingnya berkonsultasi dengan ahlinya ini penting sekali.
    Jangan tunggu sampai ada akibat baru konsultasi yaa..
    Semoga kita senantiasa diberikan kemudahan dalam jalani kehidupan. Sehat dan bahagia selalu.

    BalasHapus
  21. Penasaran dengan bagaimana akhirnya Mbak bisa bertemu psikolog yang pas di hati. Menemukan psikolog mgkn sama dengan cara menjumpai bidang layanan yang lain ya Mbak, kadang ada istilah cocok-cocokan. Yang jelas jika dari awal sudah kurang sreg, memang lebih baik tidak dilanjutkan konsulnya. Tetap semangat Mba..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menjalankan Wasiat Mamah

Catatan Kerinduan

Beginilah ....!